Sinema Pojok #1 – Harimau Minahasa (Malam Pembukaan Sinema Pojok)

Sinema Pojok 1 - Harimau Minahasa n Ethnic Percussuion
Poster Sinema Pojok 1 – Harimau Minahasa & Ethnic Percussuion
MALAM PEMBUKAAN SINEMA POJOK – KOMUNITAS GUBUAK KOPI
Jumat, 2 Oktober 2015
20.00 WIB – Selesai
di RTH (Taman Kota) Solok – Sumatra Barat.
Penayangan Filem Harimau Minahasa (Tiger of Minahasa)
sutradara Andang Kelana & Syaiful Anwar
63 menit | Warna/Stereo | Indonesia | Subtitle: English.
Ateng, seorang pemuda rantau dari Jember, bekerja di perkebunan Pala, Minahasa Utara. Kultur Minahasa Utara sendiri mayoritas berupa identitas homogen dalam sebuah sistem keyakinan tertentu: tampak dari simbol-simbol yang menghiasi sepanjang jalan pada halaman rumah-rumah penduduk. Namun, Budiono, nama asli pemuda itu, bisa diterima oleh warga untuk bekerja, dan tinggal di sebuah rumah perkebunan. Di perantauan, ia tak bisa memungkiri keterikatan identitas asal-muasal leluhurnya. Hal itu terungkap dalam alam bawah sadarnya: ia dirasuki leluhurnya sendiri. Dialog dalam peristiwa kesurupan itu mempertegas identitas asal tersebut: komunikasi yang tak terjembatani akibat perbedaan bahasa. Identitas asal merupakan hal yang selalu hadir dan menyertai Ateng di mana pun ia berada.”
Ateng, a young immigrants from Jember, working on plantations of nutmeg, North Minahasa. Majority culture of this region itself is in the form of a homogeneous identity within a particular belief system: it’s look of symbols that adorn all the way in the yard of people’s houses. However, Budiono, the real name of the young man, is accepted by the citizens for work, and lived in a plantation home. Overseas, he could not deny an identity engagement to his ancestral origins. It was revealed in his subconscious: he was possessed by his own ancestors. Dialogue in the trance event reinforce the identity of origin: communication was unbridgeable due to language differences. The identity of the origin always is present and accompanies Ateng wherever he is.
Pertunjukan Musik dari Ethnic Percussion Padangpanjang

Continue reading Sinema Pojok #1 – Harimau Minahasa (Malam Pembukaan Sinema Pojok)

Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung

Sabtu, 26 September 2015 lalu adalah sebuah peristiwa yang sarat sejarah bagi masyarakat Perumahan Batu Kubung. Setelah cukup lama absen, sinema sebagai kultur massa kembali menghiasi ruang publik masyarakat Perumahan Batu Kubung. Malam yang menjadi malam pembubaran panitia 17-an Agustus lalu, pemuda Perumahan Batu Kubung menggelar penayangan filem.

Bagi saya, kegiatan yang diinisiasi oleh WADADIBAKU atau Wahana Pemuda Pemudi Batu Kubung ini menggiring ingatan pada situasi puluhan tahun lalu, pada suasana layar tancap. Saya masih ingat, sebelumnya, semasa masih dibangku Sekolah Dasar, di tempat yang sama, dilapangan yang sama, setiap 17-an juga digelar kegiatan layar tancap. Namun, suasana itu telah lama hilang seiring dinamika kultur sinema di Solok. Belakangan ini, sinema sebagai kulutur massa hanya bisa ditemui di ruang-ruang privat, ruang keluarga maupun kamar. (baca juga: Nostalgia Layar Kejayaan) Continue reading Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung

WADADIBAKU Gelar Layar Tancap

WADADIBAKU (Wahana Pemuda Pemudi Batu Kubung) melakukan pemutaran filem Harimau Tjampa di Arena Pemuda Batu Kubung, Perumnas Atas, Solok.
20.00-wib.
Free.. untuk semua umur.

Sutradara:  D. Ddjajakusuma
Tahun rilis: 1953
Bahasa: Indonesia
Subtitle: English

Sinopsis

Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman (Bambang Hermanto) berguru silat di kampung Pau. Mula-mula ia minta pada Datuk Langit (Rd Ismail), tapi dimintai bayaran tiga kerbau. Akhirnya ia belajar pada seorang guru yang dilihatnya berhasil mengalahkan musuhnya dalam sebuah perkelahian. Guru ini memberi syarat agar silatnya tidak dipergunakan sembarangan. Lukman berjanji. Berulang kali janji itu dilanggar, tapi selalu dimaafkan, hingga dia tamat memperoleh ilmu silat. Janji ini dilanggar lagi saat ia tengah berjudi. Bandar judi yang menghalangi percintaannya secara tak sengaja tertusuk pisaunya sendiri. Lukman masuk penjara. Di dalam penjara itu diperoleh kepastian bahwa pembunuhan itu atas perintah kepala negeri, yaitu Datuk Langit. Lukman meloloskan diri dari penjara untuk bikin perhitungan. Datuk Langit diringkus dan diserahkan ke polisi sebagai pembunuh, sedangkan Lukman juga menyerahkan diri buat menjalani sisa hukuman. Latar belakang Minang dalam musik, petatah-petitih, adat dll
tampil dalam film ini.

Referensi Yang Buram

Catatan dari pameran “Jajahan Gambar Bergerak” dan Ngobrol Sinema Bersama Kuratornya

Malam itu, 19 Agustus, 2015, kami, para pengunjung, diajak memasuki sebuah ruangan yang gelap. Di dalamnya, beberapa layar bercahaya bergantungan dan menempel di dinding-dinding, membingkai citra diam dan citra bergerak hitam-putih. Di lantai pertama, gambar-gambar yang tersaji merupakan materi arsip terkait sejarah sinema yang didatangkan ke Hindia-Belanda. Arsip-arsip itu dikumpulkan dan dikurasi oleh Mahardika Yudha untuk program Peradapan Sinema dalam Pameran #2 yang bertajuk “Jajahan Gambar Begerak: Antara Fakta dan Fiksi”, bagian dari ARKIPEL Grand Illusion – 3rd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival, yang telah berlangsung dari tanggal 19 – 29 Agustus, 2015. Tajuk tersebut adalah lanjutan dari Peradaban Sinema dalam Pameran #1 di perhelatan ARKIPEL Electoral Risk – 2nd Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival tahun lalu, yakni “Jajahan Gambar Bergerak: Lumière (1896-1900)”.

Continue reading Referensi Yang Buram

Bilih: Ikan Kecil Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba

Bilih adalah nama jenis ikan langka yang konon hanya hidup di perairan Danau Singkarak. Baru pada kisaran 2000-an, peneliti dari Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan Dan Perikanan, Departemen Kelautan Dan Perikanan, mengintroduksi spesies ini ke perairan Danau Toba. Di sana, bilih berkembang menjadi dua bentuk. Yang satu, berukuran lebih besar, sekitar dua sampai tiga jari orang dewasa. Yang lainnya berukuran biasa, satu sampai dua jari orang dewasa, mirip dengan bilih Singkarak, namun untuk dimakan rasanya jauh berbeda. Bilih yang berkembang di Toba tersebut, oleh masyarakat lokal disebut ikan Pora-pora, diambil dari nama ikan yang telah punah di sana. Ikan Pora-pora ini kemudian dijual lagi ke kampung halamannya, Singkarak. Di sini, keluarga yang berkembang biak di Toba itu lebih akrab disebut Bilih Medan. Rasanya lebih pahit, kadang hambar, dan ia juga beredar dalam kemasan berlabel Bilih Singkarak. Continue reading Bilih: Ikan Kecil Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba