Pada Jumat, 06 November 2015, lalu Komunitas Gubuak Kopi melalui Sinema Pojok mengadirkan tayangan spesial bertajuk: bahasa filem yang puitis. Dalam rangkaian kurasi sederhana itu dipilih beberapa karya Joris Ivens pada awal karirnya – yang juga masa awal kehadiran filem. Karya tersebut diantaranya: Movement Studies in Paris (Studi Gerak di Paris) diproduksi tahun 1927, Regen (Hujan) produksi tahun 1929, dan A Valparaiso diproduksi tahun 1965. Continue reading Mengenal Bahasa Puitis Ivens
Category: Jurnal
Kapal-kapal Yang Tidak Pernah Berangkat
Sejarah Perjuangan Buruh Dunia di Australia Untuk Indonesia Merdeka.
1942 Jepang menduduki Indonesia. Pemerintahan Kolonial Belanda membentuk pemerintah pengasingan di Australia. Sebagai bagian dari Sekutu, Pemerintah Belanda di pengasingan waktu itu mendapatkan kekuasaan ekstra teritorial yang didukung oleh Pemerintah Australia.
Selama masa penjajahan Jepang, banyak pengungsi Indonesia yang berkumpul di Australia. Di antara mereka adalah pelaut dan buruh-buruh Indonesia yang bekerja di kapal Belanda. Pada tahun 1943 Belanda mengangkut 500 orang lebih ke Australia, baik pria, wanita dan anak-anak, dari perkampungan tawanan di Tanah Merah. Belanda juga bermaksud mengasingkan para tawanan ini di Australia. Para tawanan tersebut berhasil menyampaikan surat kepada seorang Australia pekerja pelabuhan dan kemudian juga kepada seorang pegawai kereta api. Surat-surat ini berisi penjelasan mengenai maksud Belanda yang hendak mengasingkan tawanan tersebut. Serikat Buruh Australia mersepon dengan cepat, mereka berkampanye secara bersemangat dan berhasil membebaskan para tawanan.[1] Continue reading Kapal-kapal Yang Tidak Pernah Berangkat
Trip Korea Selatan Part 2; Shinheungsa Temple dan Mount Seorak
Berikut kelanjutan dari cerita perjalan Gabriella Melisa atau biasa disapa Igeb di Korea Selatan. Silahkan Disimak!
Hari kedua di Korea Selatan, saya sudah cukup menyesuakan diri. Saya memang seringkali bermasalah dengan cuaca dingin. Untungnya Korea Selatan baru memasuki musim gugur jadi cuaca pagipun belum terlalu dingin. Setelah hari pertama mengunjungi pulau, hari kedua agendanya adalah trip ke Mount Seorak. Hanya dibutuhkan sekitar 30 menit menuju Mount Seorak dari resort tempat kami menginap.
Mount Seorak yang dalam Bahasa korea disebut Seolsan yang berarti gunung salju. Karena memang Mount Seorak terletak di ketinggian dan disaat musim dingin seluruh bagian gunung tersebut ditutupi salju. Musim dingin di Mount Seorak-pun sebulan lebih cepat dan sebulan lebih lama dari kota Seoul. Di Seoul musim dingin berkisar dari Desember sampai Februari, sedangkan di Mount Seorak musim dingin sudah dimulai dari Bulan November dan berakhir di Bulan Maret.
Untuk naik ke Peak of the mountain kita mesti menggunakan cable car. Wow, that’s amazing dan sayapun awalnya sedikit takut. Sebelum ke cable car station kita lebih dulu diajak mengunjungi Shinheungsa Temple yang disana terdapat Golden Bronze Big Buddha Statue. Penduduk Korea sendiri mayoritas tidak mempunyai agama. Sisanya Buddha sebagai agama paling banyak, Christian dan juga beberapa menganut Islam.
Setelah cukup foto-foto di kuil perjalanan dilanjutkan menuju cable car station. Disarankan kalau pergi dengan rombongan untuk reserve dulu tiket cable carnya karena kalau berakhir pekan di Mount Seorak antrian untuk naik cable car cukup ramai. Salah satu tour leader local kami juga mengatakan dia pernah mengantri sekitar 2-4 jam untuk meniki cable car. Untunglah rombongan kami sudah me-reserve jauh hari jadi tidak perlu mengantri lagi.
Nah, naik cable car ini juga cukup membuat saya merinding. Bayangkan, kita menaiki sebuah kendaraan kaca yang jalurnya menggunakan tali untuk menaiki puncak dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Walaupun Cuma lima menit namun cukup memacu adrenaline. Kapasitasnya bisa memuat sekitar 50 – 60 orang.
Setelah sampai di Gunungnya, kita juga harus menanjak lagi sekitar 10 menit menuju puncak. Jangan khawatir, disini disediakan tangga dan dipagari, jadi cukup aman untuk menuju puncak.
Untuk pemandangan diatas jangan ditanya. Saya seperti sedang berada di Swiss (walaupun sebenarnya belum pernah ke Swiss). Puncak gunung ini sendiri adalah batu-batu kapur. Duh, saat saya kesana musim gugur-pun sudah dingin apalagi pas puncak in bersalju.
Mount Seorak
Satu lagi yang membuat saya impress dengan orang-orang Korea ini. Mereka semua kuat-kuat jalan. Sepanjang jalan menuju puncak saya selalu berpas-pasan dengan pasangan-pasangan lanjut usia, yang saya taksir umur mereka sudah mencapai 60an.
Setelah puas di Mount Seorak perjalanan dilanjutkan menuju kota Seoul yang berjarak sekitar 3 jam dari Mount Seorak.
Bye Mount Seorak
ke artikel sebelumnya : Trip Korea Selatan Part 1 |
Penayangan Indonesia Calling dan Lahirnya Kelompok Baraja Filem
Beberapa waktu lalu, melalui program penayangan filem reguler “Sinema Pojok” Komunitas Gubuak Kopi bersama kelompok anak-anak di Aia Mati, menayangkan filem Indonesia Calling atau Indonesia Memanggil. Sebuah dokumenter karya Joris Ivens yang dirilis pada tahun 1946. Filem ini merekam penggalangan solidaritas buruh pelabuhan di Australia, membantu buruh Indonesia dalam mempertahankan negara baru Indonesia. Continue reading Penayangan Indonesia Calling dan Lahirnya Kelompok Baraja Filem
Trip Korea Selatan Part 1; Pulau Nami dan Teddy Bear Farm
Kali ini kita akan menyimak nomor pertama tentang perjalan rekan traveler kita, Gabriella Melisa atau yang biasa disapa Igeb, di Korea Selatan. Perempuan tangguh yang sering mendapatkan perkerjaan sambil jalan-jalan ini seperti biasa akan berbagi pengalamannya kepada kita tentang cara menarik menikmati keindahan dunia ini. Semoga bisa menginspirasi rekan-rekan traveler semua! silahkan disimak! Continue reading Trip Korea Selatan Part 1; Pulau Nami dan Teddy Bear Farm
KURANGNYA RUANG DISKUSI FILEM DI KOTA KAMI
Oleh: Fauzia Fuaddy
Belum lama ini teman saya, Albert Rahman Putra, ketua dari Komunitas Gubuak Kopi, berkunjung ke salah satu event festival filem internasional di Ibu Kota, yakni ARKIPEL, Jakarta Internasional Documentary & Experimental Film Festival yang diselenggarakan oleh Forum Lenteng pertengahan Agustus lalu. Aber, begitu kawan – kawan memanggilnya. Seperti biasa setiap kepulangan rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi dari “jalan-jalan” kita akan berbagi pengalaman untuk saling menambah ilmu. Di kepulangannya beberapa waktu lalu, Alber berbagai tentang wacana dan perkembangan filem yang ia dapati dari komunitas atau kelompok yang hadir di sana, seperti Komunitas Pasir Putih, Akumassa, Kotak Hitam, dan komunitas pegiat seni media lainnya. Pada event Arkipel ini, Aber juga belajar bagaimana sebuah komunitas membangun kepedulian dengan menghasilkan suatu karya yang mungkin bisa dijadikan objek kritis masyarakat. Misalnya melalui Filem Dokumenter atau filem yang mungkin belum pernah kita jumpai di televise – yang mayoritas hanya menyajikan filem hiburan. Continue reading KURANGNYA RUANG DISKUSI FILEM DI KOTA KAMI
Peluncuran Sinema Pojok
Sinema Pojok adalah sebuah bioskop non-komersial yang berbasis di Kota Solok, Sumatra Barat. Program ini merupakan inisiatif dari Komunitas Gubuak Kopi atas kebutuhan akan pengetahuan sinema, serta mendistribusikannya melalui kegiatan pemutaran film reguler. Film-film yang akan diputar oleh program Sinema Pojok ini adalah film-film yang bisa menjadi pilihan lain / alternatif untuk ditonton oleh publik. Program ini akan banyak menyediakan berbagai jenis film mulai dari film klasik, kontemporer, film panjang maupun pendek, film lokal maupun luar negri, film aktifisme, film experimental, film non arus utama, serta film-film yang dianggap penting dalam sejarah dunia. Ruang ini juga diadakan sebagai tempat bertemunya para pencinta film dan berbagi kecintaan tentang film serta sejarah sinema dunia.
Jum’at yang lalu, tepatnya pada tanggal 02 Oktober, Komunitas Gubuak Kopi menggelar acara grand opening program Sinema Pojok di Ruang Terbuka Hijau, Kota Solok. Dengan mengandalkan sosial media yang sedang marak dikalangan anak muda jaman sekarang, program ini cukup dikenal oleh media berkat bantuan @infosumbar, forum lenteng, dan juga Radio Fanesha 5 FM. Acara ini dibuka dengan pertunjukan perkusi oleh group Ethnic Percussion, Padang Panjang, dimeriahkan juga dengan penampilan arkustik pengamen jalanan pada acara penutupannya. Film yang ditayangkan pada malam pertama Sinema Pojok ini adalah Harimau Minahasa yang disutradarai oleh Andang Kelana & Syaiful Anwar. Film Harimau Minahasa ini berdurasi 63 menit. (lihat poster terkait: Poster Harimau Minahasa)
Film Harimau Minahasa sendiri berkisah tentang seorang pemuda rantau dari Jember yang bernama Ateng, bekerja di perkenbunan Pala, Minahasa Utara. Kultur Minahasa Utara sendiri mayoritas berupa identitas homogen dalam sebuah sistem keyakinan tertentu: tampak dari simbol-simbol yang menghiasi sepanang jalan pada halaman rumah-rumah penduduk. Namun, Budiono, nama asli pemuda tersebut, bisa diterima oleh warga untuk bekerja, dan tinggal di sebuah rumah perkebunan. Di perantauan, ia tak bisa mngungkiri keterikatan identitas asl muasal leluhurnya. Hal itu terungkap dalam alam bawah sadarnya; ia dirasuki leluhurnya sendiri. Dialog dalam peristiwa kesurupan itu mempertegas identitas asal tersebut; komunikasi yang tak terjembatani akibat perbedaan bahasa, identitas asal merupakan hal yang selalu hadir dan menyertai Ateng di manapun ia berada. Inilah sekilas ringkasan dari film Harimau Miahasa yang ditayangkan perdana oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam program barunya Sinema Pojok.
Pertunjukan kolaborasi kelompok seniman/pengamen jalan Kota Solok dengan Ethnic Percussion Padangpanjang.
Harimau Minahasa dan Sinema Solok
Ateng tiba-tiba kehilangan dirinya, ia mengejang berlagak seperti harimau, mencakar, jungkir balik, lalu berbicara dalam bahasa Jawa. Tubuh itu kini mengaku sebagai eyangnya Ateng. Ateng kerasukan roh eyangnya. Entah benar entah tidak. Tapi ia benar-benar geram ketika bahasa Jawa nya dibalas dengan bahasa Indonesia oleh Andang (sutradara). Pertanyaan-pertanyaan eyang sering kali mendapat jawaban yang tidak nyambung, karena si Andang pun tak mengerti bahasa Jawa. Percakapan tidak terjembatani. Ia geram tapi tak berhenti bertanya.
Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung
Sabtu, 26 September 2015 lalu adalah sebuah peristiwa yang sarat sejarah bagi masyarakat Perumahan Batu Kubung. Setelah cukup lama absen, sinema sebagai kultur massa kembali menghiasi ruang publik masyarakat Perumahan Batu Kubung. Malam yang menjadi malam pembubaran panitia 17-an Agustus lalu, pemuda Perumahan Batu Kubung menggelar penayangan filem.
Bagi saya, kegiatan yang diinisiasi oleh WADADIBAKU atau Wahana Pemuda Pemudi Batu Kubung ini menggiring ingatan pada situasi puluhan tahun lalu, pada suasana layar tancap. Saya masih ingat, sebelumnya, semasa masih dibangku Sekolah Dasar, di tempat yang sama, dilapangan yang sama, setiap 17-an juga digelar kegiatan layar tancap. Namun, suasana itu telah lama hilang seiring dinamika kultur sinema di Solok. Belakangan ini, sinema sebagai kulutur massa hanya bisa ditemui di ruang-ruang privat, ruang keluarga maupun kamar. (baca juga: Nostalgia Layar Kejayaan) Continue reading Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung
Bilih: Ikan Kecil Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba
Bilih adalah nama jenis ikan langka yang konon hanya hidup di perairan Danau Singkarak. Baru pada kisaran 2000-an, peneliti dari Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan Dan Perikanan, Departemen Kelautan Dan Perikanan, mengintroduksi spesies ini ke perairan Danau Toba. Di sana, bilih berkembang menjadi dua bentuk. Yang satu, berukuran lebih besar, sekitar dua sampai tiga jari orang dewasa. Yang lainnya berukuran biasa, satu sampai dua jari orang dewasa, mirip dengan bilih Singkarak, namun untuk dimakan rasanya jauh berbeda. Bilih yang berkembang di Toba tersebut, oleh masyarakat lokal disebut ikan Pora-pora, diambil dari nama ikan yang telah punah di sana. Ikan Pora-pora ini kemudian dijual lagi ke kampung halamannya, Singkarak. Di sini, keluarga yang berkembang biak di Toba itu lebih akrab disebut Bilih Medan. Rasanya lebih pahit, kadang hambar, dan ia juga beredar dalam kemasan berlabel Bilih Singkarak. Continue reading Bilih: Ikan Kecil Kita yang Hampir Habis, dan Keluarganya Di Perairan Toba