MENOLAK KONSTRUKSI MEDIA

*Artikel ini diperuntukkan sebagai pengantar Pagelaran Seni Moods of May selaku Ketua Komunitas Gubuak Kopi,serta pengantar diskusi seni Kelas Warga.

Di sebuah pertualangan, di tengah rimba raya, saya ingat seorang teman yang bertanya heran, “kenapa tiba-tiba rimba ini menjadi diam?” seorang teman lainnya yang baru saja sadar, meloncat dan melihat sekitar. “predator”, begitu tegasnya, tak lama seekor ular besar lewat. Ia terus melintas dihadapan kami dengan seekor tikus besar di mulutnya, pergi, dan menghilang. Rimba kembali bernyanyi. Pengalaman ini mengingatkan saya pada narasi mengenai Orde Baru, ketika kemegahan pembangungan, sepinya hiruk-pikuk rakyat kecil, ataupun kestabilan sebuah Negara bersemi karena mereka yang kecil ketakutan. Mungkin banyak sebab, tekanan, tidak ada suara, takut atau merasa percuma berteriak. Awalnya, saya tidak tahu persis apa yang terjadi pada rezim itu, saya belum terlalu dewasa untuk memahami apa yang yang tertulis “di buku sejarah sekolahan”. Belakangan baru saya menemukan banyak literature mengenai itu. Laporan KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) setidaknya menyebutkan Soeharto bertanggung jawab atas pembunuhan masal (1965), penggusuraan, manipulasi sejarah, pembredelan media, korup, dan banyak lainnya. Sebuah kekuatan besar, yang membuat takut banyak orang untuk menolak, demikian saya memahaminya. Continue reading MENOLAK KONSTRUKSI MEDIA

PELAJAR SOLOK BELAJAR SENI GRAFIS BERSAMA GUBUAKKOPI

Sabtu, 27 februari 2016, Komunitas Gubuak Kopi menggelar “Workshop Seni Grafis” yang diikuti berbagai pelajar, anak-anak, dan umum di Kota dan Kabupaten Solok. Kegiatan ini tepatnya diselenggarakan di Gallery Gubuakkopi, di Kelurahan Kampung Jao, Kota Solok.

 

Kegiatan ini adalah salah satu rangkaian dari program Kelas Warga edisi Februari, yang diagendakan oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam distribusi pengetahuan seni, dan memperkenalkan seni sebagai media bagi warga. Kegiatan ini mulai pada siang hari dan berakhir hingga sore hari. Diawali dengan pengantar Seni Sebagai Media oleh Albert Rahman Putra. Para peserta diajak mengenal praktek berkesenian sebagai media setiap orang dalam mengkomunikasikan apa yang menjadi ekspresi dan aspirasi mereka. Hal ini terutama ditujukan sebagai respon atas minimnya koten muatan lokal yang memperpanjang suara warga di media arus utama. Menurut Albert, sebagian besar konten media lokal lebih mengedepankan kepentingan citra ‘kalangan atas’ dan pemilik modal. Dan ini salah satunya berdampak pada keapatisan warga dalam membangun daerahnya.

DSC_2126

Albert  saat memberi pengarahan pada peserta workshop

Albert, selaku ketua Komunitas Gubuak Kopi juga mengajak para peserta, yang sebagian besar mewakili sekolahnya, untuk membentuk kelompok belajar ataupun kelompok seni untuk mengembangkan kemampuan berkesenian yang ia dapat dari kegiatan hari itu. Selain itu juga mengajak para peserta ini nantinya mampu mengembangkan segala bidangnya untuk berpihak pada kepentingan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.

Rangkaian kegiatan ini dilanjutkan dengan pengenalan seni grafis oleh Volta Ahmad Joneva. Merupakan salah satu anggota dari Komunitas Gubuak Kopi yang mendalami seni rupa grafis. Dari sekian banyak gaya dan teknik seni grafis yang diperkenalkan Volta, ia memilih gaya dan teknik grafis manual untuk dikenalkan pada para pelajar. Selain teknik ini sederhana, teknik ini juga merupakan teknik yang cukup jarang didapatkan oleh pelajar di sekolahnya.

DSC_2142

Volta dan Roro saat memberikan materi workshop seni grafis

Di bawah arahan Volta dan kakak-kakak Komunitas Gubuak Kopi, para peserta diajak untuk menetukannya sket gambar yang mereka ingikan. Kemudian mentrasnfernya secara miror (cermin/terbalik) ke karet lino yang telah disediakan oleh panita. Gambar yang telah ditransfer, ‘dicukil’ dan kemudian diberi cat untuk ditempel (sablon) ke media mereka, seperti kertas, kaos, atau tas. Seperti yang telah diundangkan para peserta, dianjurkan membawa masing-masing satu buah kaos.

Peserta dibebaskan untuk membawa pulang cetakan (cukilan di karet lino) mereka. Dan juga peserta diberi kesempatan untuk menyablon sendiri kaos yang mereka bawa. Selain itu setiap cetakan juga ditempalkan pada media kertas sebagai arsip bagi Komunitas Gubuak Kopi. Seperti yang telah disepakati sebelumnya karya yang dicetak pada media kertas ini juga akan dipamerankan sewaktu-waktu oleh Komunitas Gubuak Kopi.

 


Lihat dokumentasi foto lainnya:

Dokumentasi Video

MENGENAL DAN MERAWAT TRADISI

Pada Senin 16 januari 2016, di Palanta Komunitas Gubuak Kopi berlangsung persentasi dan diskusi menarik bertemakan “music.locality.achiving” (Musik, Lokalitas, dan Pengarsipan). Diskusi ini pada dasarnya merupakan persentasi penelitian Palmer Keen bersama Albert Rahman Putra di beberapa daerah, di wilayah budaya Minangkabau. Duo peneliti dan pengarsip kesenian lokal ini, bersama Komunitas Gubuak Kopi sengaja memilih tema tersebut mengingat semakin berkurangnya kesadaran untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan lokal di Sumatera Barat.

 “apa lagi di buku-buku kesenian sekolahan, sebagian besar muatannya adalah Jawa.”

Palmer Keen adalah seorang pengarsip seni tradisi dari Los Angles-USA, Sejak empat tahun terakhir juga aktif mendokumentasikan dan mempublikasi kesenian tradisi (lokal) di Nusantara melalui situs yang dikelolanya http://www.auralarchipelego.com. Menurutnya kasus serupa sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, tapi juga terjadi di banyak daerah di Nusantara (Indonesia). Kurangnya informasi dan publikasi dalam bahasa Inggris menjadi salah satu asalan Palmer untuk menjalani proyek ini. Sungguh pun begitu, kegiatan yang ia lakukan tidak hanya untuk orang di luar Indonesia saja tetapi juga untuk komunitas lokal.

“bagi saya idealnya mengembangkan dan melestarikan seni tradisi adalah tanggung jawab komunitas lokal itu sendiri, tidak pemerintah, ataupun universitas.”

Bagi Palmer hal itu harus segera dilakukan mengingat sedikitnya regenerasi dari kesenian yang sangat menarik dan langka. Beberapa kesenian yang diteliti waktu itu diantaranya: Talempong Sambilu (Silungkang, Sawahlunto), Saluang Sirompak (Taeh Baruah, Payakumbuh), Talempong Batu (Suliki, Limopuluah Koto), Basijobang (Sungai Tolang, Payakumbuh), dan Muluk (Lintau). Kesenian ini pada dasarnya merupakan kesenian yang hanya ditemukan di daerah itu saja.

Dalam diskusi tersebut Palmer juga menyampaikan kekagumannya atas aksi Pak Umar yang berusia sekitar 80 tahun namun masih kuat bermain dan membuat alat musik tersebut. Sebenarnya kesenian ini juga pernah dikenalkan di sekolah-sekolah di Sawahlunto namun di daerah Silungkang itu sendiri tidak ada regenerasinya.

“sedangkan kesenian itu adalah kesenian Silungkang bukan Sawahlunto, artinya ia adalah representasi daerah lokal itu, daerah yang asri pebukitan Silungkang, bukan Kota Tambang, Sawahlunto.”

Menanggapi Talempong Botuang, Albert yang sebelumnya juga pernah menulis tentang ini, menambahkan, bahwa kesenian ini memiliki dua repertoar (lagu) yang menarik, yakni berjudul “Malereng Ngarai Basurek” dan “Mandaki Ngarai Basurek” dua lagu ini sebenarnya representasi dari aktivitas masyrakat Silungkang itu sendiri, terutama daerah tempat bapak Umar ini. Ngarai Basurek adalah nama tempat pebukitan disana, malereng (menurun) dan mandaki (mendaki) adalah aktivitas yang mereka lewati setiap harinya untuk berkebun dan berinteraksi dengan warga lainnya. Hal ini lah ciri khas musik di Minangkabau, yang sangat dekat keadaan lokanya dan juga sebagai dokumentasi keseharian mereka. Secara musikal lagu-lagu ini kedua lagu ini memiliki krakter kontras, yang satu contour (kontur/pola gari nada) nadanya naik, dan yang satu lagi turun, sesederhana itu, kira-kira begitu cara mereka menikmati keseharian mereka.

Kemudian temuan menarik juga mereka ditemukan di Suliki, tak jauh dari rumah kelahiran Tan Malaka. Di sana terdapat Talampong Batu yang bisa dikatakan sangat kuno. Seperti yang dikatakan Palmer, Jarang sekali ada peradapan yang memainkan musik dari media Batu. Yang membuatnya menarik adalah keterputusan sejarah mengenai musikal dari kesenian ini. Sebelumnya batu itu menurut warga lokal merupakan batu-batu yang terpencar. Kemudian disusun berdasarkan ukuran, lalu setelah datangnya beberapa akademisi dari Aski Padangapanjang (ISI Padangpanjang) susunan batu ini ditata untuk bisa diamainkan seperti kesenian Talempong Pacik yang sangat umum di Minangkabau. Warga lokal sendiri tidak mengetahui alasan pengulangan susunan itu, selain agar bisa dimainkan seperti talempong pacik. Palmer sangat menyayangkan hal itu, kesenian ini menjadi tidak lagi organik.

Berikutnya adalah kesenian Muluk, sebuah kesenian vokal yang melantunkan syair berupa pujian terhadap nabi Muhammad selaku pemimpin umat Islam. Syair yang berbahasa Arab itu menurut Palmer terasa ‘sangat minang’. Ia mengaku walau tidak mengerti bahasa Arab ia bisa merasakan nyanyian itu cukup menyentuh perasaannya. Dengan demikian, seperti yang ditambahkan Albert, kesenian ini digunakan sebagai salah satu dakwah dan cara pengembangan agama Islam di Minangkabau. Ada beberapa kesenian lokal lainnya yang melakukan hal seperti, negosiasi antara “Agama dan kebudayaan” yang tercermin dalam kesenian. Dari sini kita bisa mengimajinasikan bagaimana agama itu begitu melekat dalam diri Orang Minang.

“Tentunya cara ini sangat berbeda dengan cara yang dibawa oleh Imam Bonjol ataupun seperti banyak ulama yang ‘kearab-araban’ sampai di Indonesia.” Albert

Ada banyak peristiwa kesenian lokal lainnya yang juga menarik untuk dibicarakan malam itu. Nantikan kuliah dan diskusi menarik lainnya di Program Kelas Warga Gubuak Kopi.

___________

(hms)

Negosiasi Ruang Bermain Kelompok Barajafilem

Suatu sore di desember bersama adik-adik Kelompok Barajafilem, saya dan Albert kebingungan karena kita tidak jadi mengambil gambar permainan bola, melanjutkan pengambilan gambar dari hari sebelumnya. Lapangan bola kali ini dipakai oleh orang-orang dewasa yang sudah bermain dengan sangat serius, jadi kami kebingungan untuk mencari tempat bermain lagi. Lalu, Albert melempar lagi tantangan kepada adik-adik ini, dimana lagi kita biasanya bermain? Continue reading Negosiasi Ruang Bermain Kelompok Barajafilem

Trailer “Bermain Ketapel”

Bermain Ketapel (2015) Adalah sebuah karya dokumenter yang dikerjakan oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama Kelompok Baraja Filem yang terdiri dari anak-anak sekolah dasar di Aia Mati, Kota Solok. Filem ini menyajikan realitas aktivas anak-anak yang ingin bermain katapel, menjadikan tantangan sebagai alasan untuk bermain bersama, walau tantangan itu sebenarnya bukanlah hal yang penting dari pada kesempatan untuk bermain bersama.

Kelompok Baraja Filem diinisiasi oleh Komunitas Gubuak Kopi, sebagai pengembangan beberapa agenda utama: belajar empati, belajar sinema, pemtaan masalah, dan dokumentasi permainan anak di Kota Solok.

Tunggu jadwal tayangnya di @sinemapojok @gubuakkopi

DOC. KELAS BACA BERJAMAAH – BLACK BEAUTY

Kali ini kelas baca berjamaah Kelompok Barajafilem dan Komunitas Gubuak Kopi dapat buku baru, sesuai yang dijanjikan oleh Albert Rahman Putra sebelumnya (lihat:KELAS BACA BERJAMAAH – GERIMIS SEPANJANG TAHUN), bahwa kali ini kelas jamaah – selain mengembangkan budaya membaca – akan mengajak anak-anak semakin akrab dengan “menyayangi semua makhluk hidup”.

Black Beauty karya Anna Sewell adalah salah satu buku legendaris yang direkomendasikan untuk dibaca segala umur, terutama untuk melatih empati anak-anak terhadap setiap makhluk yang hidup. Di Solok, binatang sering kali diperlakukan sebagai benda, mainan, atau makhluk yang tidak bernyawa. Kita bisa lihat pembasmian anjing yang secara terang-tarangan, menjadikan binatang sebagai alat kemewahan, jual beli kulit, taring, kuda yang dipaksa melakukan perkejaan berat, dan lain sebagainya yang bisa kita saksikan langsung saat ini.

Sempat hadir beberapa masukan mengenai, bagaiman kalau kelas baca ini juga diiringi dengan peragaan ekspresi atau sejenisnya. Misal ketika si kuda merengek, maka si pembaca juga merengek. Masukan ini sangat bagus dan menjadi tantangan sendiri bagi kami. Tapi kali ini, kita sedang fokus pada kebiasaan mereka untuk membaca dan disimak oleh teman-temannya secara bergilir. Sebelumnya metode penggunaan eskpresi ini pernah kami coba, alhasil mereka jadi pasif dan penonton saja. Barang kali setelah ini akan lebih menarik, ketika mereka sudah terbiasa memahami setiap kalimat yang dibaca temannya lalu nantinya juga dilanjutkan dengan ekspresi.


Buku ini diperoleh atas nama @wenemosparlo, salah satu proyek yang dikelola @albertrahmanp untuk mengembangkan kepedulian terhadap makhluk yang bernyawa.

Mari ajak adik-adik kita dan saudara-saudara kita untuk mencintai semua makhluk hidup.

Desember 2015

Doc. Workshop Collage Art #1

Setelah beberapa kali berlatih pembutan video, Kelompok Barajafilem memutuskan untuk melanjutkan latihan sambil jalan melaksanakan kegiatan lain. Latihan berikutnya dilanjutkan dengan “bermain kertas, menggunting iklan” adalah sebuah seni menyusun gambar-gambar dari majalah ataupun koran untuk disusun kembali menjadi sebuah rajutan gambar baru, atau secara konvensional kegiatan ini disebut kolase. Kegiatan ini diawali dengan workshop singkat yang diberikan oleh Albert Rahman Putra dan Tiara Sasmita pada 23 November 2015 lalu. Continue reading Doc. Workshop Collage Art #1

Doc. Workshop Collage #2

Setelah melewati kolase sesi #1, kali ini kita kembali bertemu di agenda “bermain kertas, menggunting iklan” bersama Kelompok Barajafilem. Kali ini fasilitator masih bersama Albert Rahman Putra dan Tiara Sasmita, dan satu orang lagi yang juga ingin bergabungg yakni, Dinova. Siang itu kami sedikit kebingungan mencari lokasi yang bisa kami pakai. Tempat sebelumnya, sedang dipakai oleh pemilik rumah yang sedang memperbaiki motornya.

Kita sempat kebingungan, lalu anak-anak ini mengusulkan untuk melakukannya di teras Masjid tempat mereka biasa mengaji. Sore itu setelah sesi belajar mengaji selesai kami langsung minta izin pada penjaga Masjid, dan syukurlah diizinkan. Potongan-potongan majalah itu langsung berserakan di lantai, dan anak-anak ini menyerbu.

Continue reading Doc. Workshop Collage #2

Kelas Baca Berjamaah – Gerimis Sepanjang Tahun

Pada 05 Novemer 2015 lalu, Komunitas Gubuak Kopi bersama adik-adik dari Kelompok Barajafilem meluangkan waktu untuk membaca secara berjamaah. Membaca secara bergantian sementara yang lain menyimak. Buku yang mereka baca pada kesempatan ini adalah buku Gerimis Sepanjang Tahun, sebuah buku dari program akumassa bersama komunitas Ciranggong (Jatiwangi) tahun 2015.  Continue reading Kelas Baca Berjamaah – Gerimis Sepanjang Tahun

Menyusuri Gang Rumah Abib

Setelah mendapat tantangan dari adik-adik di Aia Mati, yang kemudian kami sebut Kelompok Barajafilem, hari itu (24/10/2015) kami memutuskan untuk mulai memegang kamera. Tentu sebelumnya Albert Rahman Putra selaku leader dan juga fasilitator dalam agenda “me-residensi-kan diri” ini memberi pengarahan dulu kepada kelompok anak-anak ini mengenai praktek bermedia. Continue reading Menyusuri Gang Rumah Abib